Kabar-Indonesia.com | Jakarta - Pada saat ini, masyarakat Indonesia cenderung berbelanja berdasarkan emosinya, baik itu emosi positif maupun negatif, dengan tujuan meraih kepuasan hati yang bersifat sementara.
Hal tersebut disertai dengan kemajuan teknologi yang semakin mendukung masyarakat Indonesia dalam merubah gaya hidup, dengan cara berbelanja di toko-toko online atau yang sering disebut dengan e-commerce.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Majalengka menunjukkan bahwa 75.48% konsumen bersikap Shopping Lifestyle, 75.45% konsumen berada dalam kondisi Positive Emotion, dan 75.39% menunjukkan perilaku Impulse Buying.
Dari sisi produsen atau seller, ini sangat menguntungkan karena meningkatkan penjualan, tetapi dari sisi konsumen, gaya hidup ini akan membuat pembengkakan pengeluaran, belum lagi untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Rachmawati ( 2009: 45) menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan impulse buying biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hedonic shopping value, shopping lifestyle, dan positive emotion.
Impulse buying adalah tindakan dimana seseorang membeli barang bukan karena kebutuhan, melainkan dipicu oleh pengaruh visual atau penawaran yang menarik secara emosional yang kemungkinannya bisa menimbulkan perasaan menyesal setelah membeli barang tersebut. Dengan kata lain, seseorang berbelanja karena keinginan tanpa pertimbangan yang matang, bukan karena kebutuhan.
Penting untuk memahami bahwa impulse buying tidak selalu berarti negatif, terkadang bagi seseorang itu dilakukan untuk self reward atau cara mendapatkan kepuasan segera.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seorang untuk impulse buying yaitu suatu produk yang dijual dengan harga murah, marketing yang menarik, letak toko yang strategis, tersedianya waktu, serta finansial yang baik.
Sama halnya dengan yang dialami oleh gen-z saat ini, dimana mereka akan berbelanja saat merasakan banyak tekanan atau dengan kata lain saat mereka stress, dengan harapan setelah berbelanja mood mereka akan membaik.
Baik itu berbelanja langsung di toko maupun di e-commerce.
Tidak dipungkiri bahwa e-commerce memberikan banyak perubahan pada produsen atau pun konsumen.
Banyak riset mengatakan bahwa pengguna e-commerce 65% berasal dari perempuan dewasa dan didominasi oleh remaja dengan rentang usia 15-34 tahun (80%). Dengan adanya kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi timbulnya sikap positif dari diri seseorang.
Dengan kemudahan tersebut, banyak konsumen yang berbelanja saat merasakan positive emotion, akan lebih mudah membuat keputusan untuk berbelanja, tanpa mengingat akan kontrol diri demi mempertahankan emosi positif tersebut.
Bagi dunia bisnis, kehadiran para remaja memberikan dampak yang sangat positif, karena kehidupan para remaja tidak jauh dari berselancar di dunia internet.
Jadi, perusahaan-perusahaan di bidang ini dituntut aktif dan kreatif agar bisa menjadikan remaja sebagai target pemasaran produk, yang mana para remaja cenderung memiliki perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu perilaku konsumtif itu adalah pembelian secara implusif. Sudah menjadi hal yang lumrah jika remaja selalu menjadi target pasar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), jual beli di e-commerce mulai meningkat semenjak pandemi, dikarenakan di atasnya kontak fisik dan kegiatan di luar rumah, mengharuskan berjual beli secara online, pada awalnya banyak yang menolak untuk berjualan secara online lantaran sudah nyaman berjualan secara langsung atau banyak yang berasalan kurangnya pengetahuan atau keahlian dalam berjualan secara online.
Selain itu, juga menghambat pendistribusian barang. Setelah mulai berjualan di e-commerce, para penjual mulai merasakan naiknya tingkat penjualan dari biasanya sebanyak 24%. Pada saat pandemi, 54% dari konsumen memilih berbelanja online, dan saat pandemi telah usai, 48% diantaranya masih memilih berbelanja online.
Hingga saat ini, masyarakat masih memilih berbelanja online daripada berbelanja langsung ke toko offline, selain harga yang lebih terjangkau, waktu yang harusnya terbuang di jalan bisa dimanfaatkan dengan kegiatan lain.
Apalagi untuk para pekerja dan anak sekolahan yang tidak memiliki waktu luang untuk mengunjungi langsung toko tersebut.
Dari banyak riset yang dilakukan oleh universitas-universitas di Indonesia terhadap mahasiswa yang bersikap impulse buying, sebagian besar mengambil keputusan berbelanja sesuai dengan emosional bukan dengan pemikiran yang rasional, terkadang penyebab impulse buying itu berasal dari faktor eksternal, entah itu dari latar belakang keluarga, pergaulan sehari-hari, dan lain-lainnya.
Bagi seorang remaja, masa perkuliahan adalah masa dimana kita dituntut untuk bisa memanage keuangan, tetapi terkadang masih banyak yang menjadikan masa perkuliahan menjadi ajang untuk bermewah-mewahan, inilah faktor yang menyebabkan banyak mahasiswa yang menyukai berbelanja tanpa memikirkan dampak dan akibatnya.
Begitu maraknya terjadi, mahasiswa yang terlilit hutang pinjaman online (pinjol) demi hidup bermewah-mewahan, karena kurangnya kesadaran akan besarnya pengeluaran dari pada pemasukan.
Terdapat beberapa dampak yang diperoleh jika terlalu menuruti emosi dalam berbelanja, diantaranya keuangan yang tidak stabil, penyesalan yang berkelanjutan, dan kurangnya kontrol terhadap diri.
Ada beberapa tips agar terhindar dari kebiasaan impulse buying, hedonic shopping dan shopping style, diantaranya : menanamkan mindset "jika tidak terlalu penting tidak perlu membelinya", membuat daftar belanja, menetapkan anggaran, berpikir lebih matang jika ingin membeli sesuatu, menghindari godaan, evaluasi emosi, menggunakan metode pembayaran yang tepat, membuat jurnal keuangan, mulai melatih diri untuk hidup hemat, serta mencari hobi baru atau kegiatan baru saat timbul keinginan berbelanja.
Ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya pola belanja impulse buying, shopping style, hedonic shopping berkaitan sangat erat dengan positive emotion, karena semakin seseorang itu merasa senang atau bahagia, semakin tinggi pula minat belanjanya.
Jadi, emosi memainkan peran yang signifikan dalam menentukan perilaku belanja konsumen. Emosi positif seperti kebahagiaan dan kegembiraan dapat mendorong perilaku pembelian impulsif, di mana konsumen lebih cenderung membeli barang secara spontan tanpa perencanaan.
Sebaliknya, emosi negatif seperti kecemasan dan stres dapat mengurangi kecenderungan untuk berbelanja impulsif, karena konsumen mungkin lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang.
Penelitian menunjukkan bahwa emosi positif juga dapat memperkuat efek promosi penjualan dan menciptakan pengalaman belanja yang menyenangkan, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan konsumen.
Selain itu, kondisi emosional yang dipicu oleh lingkungan belanja juga mempengaruhi keputusan pembelian, di mana suasana yang menyenangkan dan menarik dapat mendorong konsumen untuk berbelanja lebih banyak.
Meskipun pembelian impulsif dapat memberikan kepuasan langsung, penting bagi konsumen untuk menyadari dampak jangka panjangnya terhadap kondisi keuangan dan kesejahteraan emosional mereka.
Mengendalikan pembelian impulsif melalui perencanaan belanja yang baik, evaluasi kebutuhan versus keinginan, dan pengelolaan emosi dapat membantu konsumen untuk berbelanja dengan lebih bijak dan menghindari penyesalan di kemudian hari.
Saran untuk perusahaan bisnis, toko offline dan toko online atau e-commerce, agar dapat menyempurnakan layanan, kemudahan berbelanja, memanfaatkan teknologi dengan baik sehingga para konsumen bisa berbelanja dengan nyaman dan leluasa.
Jika konsumen sudah nyaman, maka akan terciptalah loyalitas antara penjual dan pembeli. Baik itu penjual atau pembeli, akan merasakan dampak positifnya.
Oleh: Zulya Rahmatika Amri, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta